Latar Geopolitik dan Relijius dalam Serbuan Abrahah

Oleh :
Arafah Pramasto, S.Pd.
(Penulis Buku Kesejarahan Asal Palembang)

     Umat Islam telah jamak mengerti alasan munculnya sebutan “Tahun Gajah” yang ikut difirmankan dalam QS. Al-Fil, yakni kisah penyerbuan Ka’bah oleh panglima (ada juga yang menyebutnya sebagai ‘Raja’) Abrahah dari Habasyah / Abessinia (kini Ethiopia) dengan kavaleri gajahnya. Kisah itu sangat dekat dengan tradisi Islam karena tahun tersebut bertepatan dengan Rasulullah Muhammad Saw lahir. Meski kemudian serbuan itu gagal total karena burung Ababil yang diperintahkan Allah melempari pasukan Ethiopia dengan Sijjil (tanah liat yang terbakar), mungkin kita masih bertanya-tanya mengapa Abrahah yang berasal dari sebuah negeri di benua Afrika sampai harus menyerang Ka’bah ? Siapakah Abrahah sebagai figur sejarah yang sebenarnya ? Bagaimana proses penyerangan Ka’bah secara kronologis sebelum kemudian militer Habsyah hancur ? Tulisan ini akan mengulas latar belakang kesejarahan peristiwa yang masih berkaitan dengan momentum Maulid Nabi Saw ; kisah penting namun kerap diabaikan.

     Yaman adalah negeri tua yang berada di selatan kota Mekkah, sekarang termasuk Saudi Arabia. Negeri Yaman adalah awal dari kisah penyerbuan itu. Yaman memang negeri tua nan makmur karena adanya bendungan Ma’rib (mukarrib) yang diperkirakan telah dibangun sejak 750 SM. Sekira 270 tahun sebelum datangnya risalah keislaman, negeri Yaman dilanda kehancuran akibat perang saudara. Kelemahan internal menjadikan mereka mudah ditundukkan oleh bangsa asing. Bangsa Romawi masuk ke Aden serta memberi bantuan pada kabilah-kabilah dari Habasyah (Ethiopia) menjajah Yaman untuk pertama kalinya pada tahun 340 M, dengan memanfaatkan friksi (persaingan) kabilah Hamadan dan Himyar. Penjajahan itu berlangsung hingga tahun 378, kemudian Yaman berhasil merdeka di bawah Kerajaan Himyar.

     Salah seorang raja Himyar yang kesohor adalah Abu Kariba As’ad, ia pernah memimpin pasukan ke utara setelah mendengar bahwa Romawi – musuh bebuyutan orang Yaman – tengah menghimpun kekuatan. Ia melewati Yatsrib (kini Madinah) tanpa perlawanan dan menempatkan putranya sebagai gubernur. Beberapa hari kemudian, putranya dibunuh penduduk setempat yang tak rela dijajah Yaman. Mendengar berita tersebut, Abu Kariba memutar haluan dan menggempur Yatsrib serta menghancurkan sektor perkebunan kurma di sana. Ketika perang berlangsung, ia sakit keras. Akhirnya sang raja didatangi dua orang dokter Yahudi Yatsrib, Kaab dan Assad, yang berhasil menyembuhkannya. Abu Kariba memilih memeluk Yahudi dan menjadikannya agama resmi pada 420 M. Pilihan itu membuat intensitas perang melawan Romawi yang Kristiani menjadi meningkat.

     Agama Yahudi dan Kristiani (Nasrani / Nashara) terikat oleh kesejarahan yang kuat beserta beban sejarahnya. Dalam tradisi Kristiani, penyaliban Yesus tidak lepas dari peran Yehosef bar Qayafa atau Kayafas. Bersama mertuanya, Imam Agung Hanas, Kayafas bekerjasama untuk menyingkirkan, mengadili, dan membunuh Yesus. Sedangkan bagi orang Yahudi sendiri, Yesus dianggap telah menodai ajaran mereka. Himyar yang sudah menjadi kerajaan Yahudi akan memperoleh legitimasi teologis melawan pengaruh Romawi-Kristiani. Secara politis, Himyar dapat bekerjasama dengan Persia, kekaisaran yang beragama Majusi dan menjadi saingan Romawi. Penerus Abu Kariba adalah Yusuf Dzu Nuwas, ia memerintah sejak 517 M. Di masa kekuasaan Dzu Nuwas, provinsi Najran di utara kerajaannya kedatangan dua orang Kristiani yakni Fimiyun asal Romawi dan Shalih yang asli Arab. Dengan kesalehan dua orang itu banyak penduduk Najran menjadi Kristiani. Dzu Nuwas yang murka menyerukan agar orang Najran kembali memeluk Yahudi. Penolakan terhadap seruan itu diganjar dengan kekejaman. Sang raja memerintahkan agar pemeluk Kristiani dibakar dalam sebuah parit besar, kisah ini diabadikan dalam QS. Al-Buruj [85 : 1-9].

     Rupanya, ada seorang laki-laki penduduk Najran yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian oleh Dzu Nuwas. Ia berhasil melaporkan apa yang terjadi dengan pemeluk Kristiani Najran kepada kaisar Romawi. Karena letak Yaman terlalu jauh, penguasa Romawi menuliskan surat kepada Negus (Najasyi) dari Habasyah yang berisi bujukan untuk menyerang Yaman kembali, kali ini bukan dengan alasan kemakmuran melainkan tugas membela saudara seagama. Sesudah membaca surat itu, dan mendengar nasib yang menimpa orang Najran, Negus tak dapat menahan rasa sabarnya terhadap Dzu Nuwas raja Yahudi yang ganas itu. Ia ingin membalas dendam, demi kepentingan agama dan umat Nashara seluruhnya. Negus akan mengirimkan pasukan berkekuatan 70.000 dan menunjuk dua orang panglima ; Aryath (Arab : Irbath) dan Abraham (Arab : Abrahah). Tentara besar telah selesai persiapannya dan dikirim langsung menuju Yaman untuk membalas kekejaman dengan kekejaman pula.

     Pasukan Habasyah pun akhirnya berhasil mengalahkan Dzu Nuwas pada tahun 523 M (banyak yang meyakini 525 M). Menurut Imam Ath-Thabari, Dzu Nuwas – yang kalah terdesak – memacu kudanya membelah ombak lautan (bunuh diri), setelah itu dia menghilang dan itu pertanda berakhirnya era dinasti Himyariyah. Kemenangan Habasyah ditunjukkan dengan penghinaan pada orang-orang Arab, rakyat banyak dijadikan budak, dan benteng-benteng pertahanan Yaman seperti Saljik, Suun, dan Gamdan diruntuhkan. Habasyah ikut membuat sebuah gereja di Sana’a yang diberi nama Qalis. Sesudah pembangunannya, Abrahah mengirimkan surat pada Negus dan Kaisar Romawi bahwa hatinya belum puas sebelum bangsa Arab memalingkan ibadah haji-nya ke gerejanya (memeluk Kristiani). Berita isi surat tersebut terdengar oleh orang-orang Arab, murkalah mereka. Suatu ketika, seorang kepala Bani Fuqaim dan kepala Bani Malik dengan sengaja datang ke gereja Qalis sambil keduanya bersenang-senang membuat kotor di dalamnya. Berita itu sampai kepada Abrahah dan dikatakan pula bahwa orang tersebut datang dari Mekkah, tempat suci bangsa Arab dalam berhaji. Abrahah mengeluarkan perintah keras beserta ancaman agar bangsa Arab tak berhaji lagi ke Mekkah, tapi ke gereja Qalis. Orang Arab merespon dengan memanah kurir surat Abrahah sampai mati. Kemarahan Abrahah semakin memuncak tinggi, tetaplah niatnya mengatur pasukan pergi meruntuhkan Kakbah.

     Rencana Abrahah tentu sulit terlaksana karena ia bukan satu-satunya panglima Habasyah di Yaman karena masih ada Aryath yang berwenang di sana. Kelihatannya, Abrahah merasa kesal dengan sikap diam Aryath yang seolah tak peduli dengan penyebaran agama Kristiani, termasuk soal penodaan gereja Qalis. Di sini tersirat adanya perbedan sikap keagamaan antara kedua panglima, Aryath yang moderat dan Abrahah yang tendensius. Terlebih dari itu, persaingan Aryath dan Abrahah cukup terasa dan kelihatannya keduanya berebut menjadi raja bawahan Habasyah di Yaman. Sayangnya dalam hal kepemimpinan, Aryath adalah seorang yang lalim, ia sangat sewenang-wenang dan kejam. Lama kelamaan rakyat tak punya pilihan dan meminta bantuan pada figur yang paling kuat yakni Abrahah. Pada suatu saat yang telah ditentukan, Abrahah mengadakan serangan kepada Aryath sehingga dapat dikalahkannya dan kemudian Abrahah memegang kekuasaan kerajaan di sana. Kini ambisi Abrahah untuk meruntuhkan Ka’bah tiada dapat dihalang lagi, dengan kavaleri gajah andalannya, ia memimpin dengan menunggangi yang ukurannya paling besar menuju Mekkah.

     Walaupun kita sudah mengetahui takdir dari kampanye militer Abrahah setelah tiba di Ka’bah, ada beberapa kisah yang banyak terlewatkan dalam proses penyerangan itu. Di tengah perjalanan, seorang bangsawan Arab sisa kerajaan Himyar bernama Dzu Nafar sengaja datang melawan. Tetapi Dzu Nafar menderita kekalahan, setelah ditawan dibiarkannya oleh Abrahah untuk menjadi penunjuk jalan. Saat melewati Thaif, ia disongsong oleh Mas’ud bin Ma’tab dengan diiringi pemuda-pemuda Tsaqif, bukan untuk melawan, namun mereka menyatakan tunduk pada Habasyah. Mas’ud menyerahkan seorang bernama Abu Raqal sebagai penunjuk jalan Abrahah namun di antara kota Thaif dan Mekkah, Abu Raqqal meninggal. Hingga berpuluh tahun lamanya, makam Abu Raqal tetap dilempari batu oleh orang-orang Arab yang melintas. Saat mendekati Mekkah dan sempat merampas ternak-ternak, Abrahah mengutus seorang bangsawan Himyar lainnya bernama Hanathah Al-Himyari untuk mengingatkan kaum Quraisy agar tidak melakukan perlawanan, ia juga yang mempertemukan Abdul Muthalib (kakek Rasulullah) sebagai pemuka suku dengan Abrahah. Ia diperlakukan dengan baik, Abrahah sampai turun dari singgasananya dan duduk bersama-sama Abdul Muthalib di atas hamparan.

     Meskipun kita telah mengetahui nasib dari tentara Habasyah nantinya, pertemuan itu mengagetkan Abrahah. Ia mengira Abdul Muthalib ingin meminta agar niat Abrahah meruntuhkan Ka’bah diurungkan, ternyata ia hanya meminta 200 ekor untanya dikembalikan. “Ka’bah itu ada yang mempunyai dan ada yang mengurusi (maksudnya Allah SWT-Pen)”, ujar Abdul Muthalib. Sesudah mengembalikan hak yang mesti dimiliki oleh tokoh Quraisy tersebut, dilancarkanlah penyerbuan pada Ka’bah, yang berakhir dengan bencana bagi Abrahah. Banyak versi memang tentang apa yang menimpa Abrahah. Ada yang menafsirkan bahwa Sijjil ialah wabah yang dibawa burung-burung ke perkemahan Abrahah, hampir semua penulis sejarah memastikan ia tewas sebelum mewujudkan ambisinya merobohkan Ka’bah. Sesudah Abrahah tewas, kerajaan Yaman dipegang oleh anaknya yang bernama Yaktsum; dan setelah Yaktsum meninggal ia digantikan oleh anaknya yang kedua bernama Masruq. Sesudah itu bangsa Persia membantu Yaman mengusir bangsa Habasyah pada tahun 575 M. Kaisar Persia menempatkan seorang pejabatnya di kota Sana’a dan memasukkannya ke dalam kedaulatan Persia. Pejabat Persia terakhir di Yaman adalah Bazan, ia memeluk Islam pada bulan Jumadil Awal tahun 627 M, keislaman Bazan menyebabkan pengaruh Persia di Yaman berangsur-angsur lenyap.(*)

Sumber :
1. Al-Quranul Karim wa Tafsir Kementerian Agama RI, 2010. Hlm. 454.
2. Ali, Jawwad, Sejarah Arab Sebelum Islam : Daulah, Mamlakah, Kabilah, dan Imarah , Jakarta : Pustaka Alvabet, 2018. Hlm. 196.
3. Ahmad, Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah : Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik, Jakarta : Qisthi Press, 2017. Hlm. 58
4. Ferry, Lee, Connection Point : A Different Version of African American Folklore, Bloomington : AuthorHouse, 2010. Hlm 47.
5. Kuncahyono, Trias, Jerusalem 33, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2011. Hlm. xx.
6. Arifin, Bey, Rangkaian Cerita dalam Al-Quran, Bandung : Alma’arif, 1996. Hlm. 332.
7. Sudarsono & Susmayati, Kakbah Pemersatu Umat Islam, Jakarta : Asdi Mahasatya, 1993. Hlm. 50.
8. Chalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw 1 , Jakarta : Gema Insani Press, 2001. Hlm. 35.
9. Op.Cit. Hlm. 52.
10. Ahmad, Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah : Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik, Jakarta : Qisthi Press, 2017. Hlm. 59.

*) Tulisan ini adalah tanggung jawab penulis sepenuhnya (bukan media), jika ada kritik maupun saran silahkan mengirimkan surat elektronik ke ggsejarah@gmail.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *