Radar Sriwijaya – Taman Metajuridika, Fakultas Hukum Universitas Mataram menyelenggarakan pertemuan ilmiah dengan tema “ Disrupsi dan Hukum Masa Depan” pada hari Sabtu 5 Januari 2019.
Taman Metajuridika adalah sebuah lembaga kajian para pengemban dan pemikir hukum yang mengkritisi perkembangan filsafat, teori, ilmu hukum dan kasus-kasus hukum. Lembaga ini digawangi oleh dosen hukum Unram Widodo Dwi Putro dengan beberapa guru besar Fakultas Hukum Unram sebagai penasehat sekaligus dewan pakar seperti Professor Zaenal Asikin, Prof Amiruddin, Hayyan ul Haq, Sabardi, Roro Cahyowati dan Khotibul Islam.
Banyak tokoh, akademisi dan praktisi hukum dari Nusa Tenggara Barat (NTB) hadir dalam diskusi yang dilaksanakan di kampus Universitas Mataram tersebut diantaranya Direktur Kriminal Khusus Polda NTB Syamsudin, Ketua Ombudsman NTB, Andhar Hakim, pimpinan Komisi Yudisial perwakilan NTB, pimpinan organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI), Peradi, notaris dan dosen-dosen fakultas hukum dari berbagai Universitas di NTB serta para mahasiswa.
Praktisi hukum dari Jakarta International Law Office (JILO), TM. Luthfi Yazid selaku nara sumber mengingatkan pengtingnya mencermati, mengantisipasi dan membuat aksi-aksi konkret dalam menghadapi era disrupsi yang sedang terjadi saat ini.
Beberapa point dan issue mengemuka dalam diskusi yang dibuka oleh pimpinan Taman Metajuridika Fakultas Hukum Unram, Widodo Dwi Putro adalah sebagai berikut:
1). Apakah disrupsi itu? Disrupsi dalam bidang hukum seperti apa? Apa dampaknya? Bagaimana peraturan perundangan dan regulator menghadapi disrupsi? Diamanakah posisi kita, praktisi hukum serta bagaimana menyikapi masa depan disrupsi?
2). Disrupsi ditandai dengan banyak hal misalnya digitalisasi, robotisasi, penggunaan crypto currency, Bit Coin, Artificial Intelligence, big data adalah sebagian bukti bahwa kita sedang memasuki era disrupsi dan Revolusi Industri 4.0. Fenomena munculnya Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, Uber, Air BnB, Go-Jek, Grab memperkuat realitas disruptive innovation.
Pertanyaannya yang segera muncul ialah, apakah peraturan peundangan atau hukum yang ada cukup mengatur situasi ini? Misalnya, Pertama, ketentuan atau peraturan pemerintah yang mengatur bahwa bagi perusahaan penyedia taxi yang harus memiliki lahan.
Bagaimana dengan taxi-taxi online yang tidak diwajibkan mempunyai lahan atau pool? Bagaimana hukum dapat memberikan perlindungan yang seimbang? Inilah era disrupsi yang sedang dihadapi.
Kedua, contoh lain adalah syarat mengadakan transaksi atau jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 bahwa transaksi dapat dilakukan manakala ada kecakapan dari orang yang melakukan transaksi.
Pertanyaannya, bagaimana kalau anak dibawah umur melakukan pemesanan kue melalui smartphone dengan Go-Food dan kemudian diantar oleh perusahaan kue tersebut? Apakah transaksinya menjadi tidak sah?
Ketiga, jika di masa lalu (pre-disruption) orang hendak mendengarkan lagu melalui kaset, CD atau USB sementara sekarang orang dapat mendowlowd dan mendengarkan melalui Spotify yang merupakan internet music delivery, bagaimana aturan dalam UU Hak Cipta dapat menjangkaunya? Bagaimana pula dengan pengenaan royaltinya?
Keempat, di Amerika Serikat pengacara atau advokat robot pertama dikenal dengan nama Ross yang bisa menangani perkara kepailitan (Karen Turner, The Washington Post, 16 May, 2016). Hal ini serupa dengan yang diterapkan di European Union dimana European Commission memfasilitasi Online Dispute Resolution (ODR) untuk penyelesaian perkara perdata atau kontraktual. Dengan system ODR yang mengadili dan memutuskan sengketa adalah robot. Orang yang bersengketa baru akan bertemu dengan hakim manusia apabila ia melakukan banding atas putusan ODR. Saat ini juga sudah dikembangkan Internet Dispute Resolution (iDR), Electronic Dispute Resolution (eDR), Electronic Alternative Dispute Resolution (eADR), Online Alternative Dispute Resolution (oADR).
Di Amerika ada eksperimen dimana Artificial Intelligence digunakan untuk mereview berbagai kontrak dan hasilnya sungguh mengejutkan sebab tingkat akurasinya lebih tinggi dibandingkan puluhan lawyer. Richard Suskind professor dari Oxford University seorang Legal Futurolog terkemuka di dunia dalam bukunya yang kontroversial The End of Lawyers (Oxford University Press, 2008) sudah memprediksi keadaan seperti ini. Clayton M Christensen juga adalah pioneer non-hukum yang memperkenalkan disruption. Pertanyaannya apakah robot tersebut merupakan subyek hukum? Umpama ada kekeliruan bagaimana tanggungjawab hukumnya dan bagaimana pengaturannya?
3). Topik soal disruption mengundang pro dan kontra termasuk di Indonesia. Namun kita hidup ditengah masyarakat dan pergaulan international, misalnya kita sebagai anggota Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), anggota WTO dan lain sebagainya. Artinya, begitu misalnya ODR diterapkan dan disetujui oleh MEA, maka mau tidak mau kita harus tunduk dengan ketentuan tersebut.(rel)
**Press Release Taman Metajuridika Fakultas Hukum Universitas Mataram.