Radar Sriwijaya (PLG) – Setelah sebelumnya menggelar konferensi pers di Kopi Hitam, Sabtu (11/11/2017) dalam rangkaian pemutaran film “Meniti 20 Hari” (M20H) di Palembang, Komunitas Film Palembang (Kofibang), tadi malam, Jumat (17/11/2017) menggandeng Ikatan Wartawan Online (IWO) Sumsel untuk mendukung rencana tersebut.
Imron Supriyadi, Penanggungjawab pemutaran film M20H di Palembang mengatakan, film ini tidak akan berarti tanpa ada dukungan semua pihak, termasuk kalangan jurnalis.
“Seseorang menjadi artis terkenal juga jasa dari kawan-kawan wartawan. Jadi kami juga ingin menjalin kerjasama dengan IWO Sumsel, agar pemutaran film ini sukses sebagaimana harapan,” ujar Pembina Kofibang ini.
Menanggapi hal itu, Sonny Kushardian, Ketua IWO Sumsel mengatakan, pemutaran film M20H di Palembang, bukan hanya tanggungjawab seniman tetapi juga semua pihak yang harus mengapresiasi film ini. Apalagi, menurut Sonny film ini 100 persen dibintangi putra Sumsel.
Lebih lanjut, mantan wartawan Harian Umum Kabar Sumatera ini mengatakan, keterlibatan putra daerah dalam produksi film ini merupakan nilai plus bagi Sumsel. Oleh sebab itu, menurut Sonny film ini harus bisa diputar di bioskop di Palembang yang berkelas.
Menurut Sonny, kepala daerah, baik bupati, walikota dan gubernur harus ikut andil dan mendukung pemutaran film ini di bioskop. Sebab, film ini berkisah tentang perjalanan KH A.R Fachruddin, Ketua Umum Muhammadiyah (1968-1990) dari Ulak Paceh (Musi Banyuasin) untuk mengikuti kongres di Medan dengan menaiki sepeda.
Menurut Sonny, film yang berlatarbelakang Sumsel ini sudah selayaknya diketahui warga Sumsel yang tidak terlibat langsung dalam produksi film ini.
“Apalagi proses produksinya mengambil wilayah Sumsel, seperti di Jejawi OKI, Ulak Paceh Muba, Lubuk linggau dan Palembang. Ini kan tidak banyak diketahui. Melalui film ini diharapkan akan memberi informasi tentang bagaimana Muhammadiyah lahir di Sumsel, yang dimulai dari Ulak Paceh Muba,” tambahnya.
Sonny menambahkan, bila pihak manajemen menolak pemutaran film ini di bioskop, harus dipertanyakan keberadaan mereka di Palembang. Sebab, menajemen bioskop yang selama ini berada di Palembang mengambil untung dari warga di Sumsel.
Menurutnya, sangat tidak etis bila ada produk lokal dilarang masuk ke bisokop, padahal manajemen bioskop jelas-jelas mengais kehidupan di Palembang.
“Mereka itu kan mencari penghidupan di Sumsel, katakanlah di Palembang. Mereka mengambil untung dari hasil penonton di sini, tapi saat kita mau jualan produk kita, misalnya mau minta waktu pemutaran film ini, kok malah ditolak, itukan namanya tidak fair. Kalau warga dan seniman protes, ya wajar saja. Orang luar Sumsel jangan hanya bisa mengambil untung dari kami, tapi lihat juga dong produk kami, itu baru adil,” tegasnya.
Sonny menegaskan, seharusnya bukan hanya event olah raga sekelas Asian Games yang didukung, tetapi film yang mengangkat kearifan lokal juga harus mendapat support penuh oleh semua pihak, ternasuk pemeirintah.
“Saya kira agak tidak bijak juga kalau tidak mendukung film ini diputar di bioskop,” ujarnya.
Seiring dengan itu, Jemi Delvian, salah satu arranger di Palembang menilai, karya lokal sudah seharusnya diputar dan dinikmati orang lokal juga. Menurutnya, selama ini warga Sumsel nyaris lebih banyak membeli produk luar Sumsel, ketimbang dari hasil karya lokal.
“Ya, termasuk film. Film ini karya putra daerah, dibintangi orang Palembang, lalu kenapa tidak bisa diputar di bioskop Palembang? kan aneh?! Ini yang menurut saya harus didobrak, sehingga karya lokal termasuk, film ini harus bisa masuk di bioskop Palembang,” ujar salah satu pegiat musik di Sumsel ini.
Terpisah, Jaid Saidi salah satu pemeran dalam film M20H mengatakan sangat setuju dengan rencana Kofibang dan IWO Sumsel. Sebab, melalui film yang 100 persen dibintangi seniman Sumsel, sekaligus mendorong generasi muda di Sumsel bisa lebih yakin terhadap karya lokal.
“Ya, bagus juga kalau film ini bisa diputar di bioskop. Ini kan nanti bisa ditonton di tempat yang berkelas, sehingga dapat mendorong anak-anak muda di Sumsel untuk berkarya dan mereka yakin kalau produk lokal layak dijual,” ujar jebolan Bengkel Teater WS Rendra, saat dihubungi melalui ponselnya.
Ulak Paceh dan Kader Muhammadiyah
Film ini merupakan produksi Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga (LSBO) PP Muhammadiyah berkisah tentang perjuangan dan petualangan KH Abdul Razak Fachrudin (muda), dengan rombongan Pandu Hizbul Wathan (HW) pada tahun 1939 Masehi bersepeda dari Ulak Paceh, Musi Banyuasin (waktu masih wilayah Palembang) ke Medan, sejauh 1.300 km untuk mengikuti Kongres ke 28 di Medan. Abdul Razak Fachruddin, merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode (1968-1990).
Imron menjelaskan, pemeran tokoh film ini terdiri dari 90% kader Muhammadiyah yang 100% warga Sumsel. Diantara para pemerannya yakni, Jaid Saidi (Teater Harmoni Palembang), sebagai Mang Jay (tokoh Desa Ulak Pace, Muba), Suaibatul Aslamiah (Mia), Bagus, Restu dan Alzaref Dwi Tasuka, (Mahasiawa Universitas Muhammadiyah Palembang), dan Andre (Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sumsel- pemeran utama, KH AR Fachruddin muda).
Selain itu, Reaga (Alumus SMA di Palembang, putra Kader Muhammadiyah Sumsel) dan lainnya; OKI Pramadani, M Amin, (Mahasiswa Universitas Islam Raden Fatah), Imron Supriyadi, (Ketua IMM Fak Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang periode 1995-19917), Darwin Syarkowi (aktifis Teater Kereta Palembang), Yussudarson Sonov (Komitas Venesia dari Timur), Hasan (Dosen Teater Universitas PGRI Palembang), dan civitas Akademika Stikes Aisyiah dan Stikes Muhammadiyah Palembang.
“Film ini sebelumya sudah diputar perdana di Yogyakarta. Kenapa harus dari Yogya? Mengingat secara historis, lahir dan berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta. Di sini kita juga menyampaikan ke dunia luar, bahwa tokoh yang pernah tinggal di Sumsel dalam film ini memiliki pengaruh besar terhadap kemajuan Muhammdiyah di pulau Sumatera, bahkan Indonesia,” ujar Imron.(rel)