Oleh : Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2018 tentang Tunjangan Hari Raya Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan sebesar Rp 35,7 Triliun atau naik 68,9% dibandingkan tahun sebelumnya (Rp 17,9 triliun). Di tahun ini pemberian THR pensiun termasuk kebijakan baru di tahun 2018, berikut rinciannya:
Tunjangan kinerja: Rp 5,7 triliun
THR gaji : Rp 5,2 triliun
THR pensiunan: Rp 6,8 triliun
Tunjangan Kinerja Gaji ke 13: Rp 5,7 triliun
Gaji ke 13: Rp 5,2 triliun
Gaji ke 13 untuk pensiun : Rp 6,8 triliun
_Sumber: katadata.co.id_
FITRA berpendapat, boleh saja pemerintah meloloskan kebijakan terkait THR dan Gaji ke-13, tetapi apakah pemerintah atau Kementerian Keuangan sudah memiliki kajian yang komprehensif terkait kebijakan tersebut, karena beban pemberian THR dan gaji ke-13 itu menjadi tanggungan daerah melalui aggaran APBD. Jika kita lihat kapasitas fiskal pada tahun 2017, dari 34 provinsi terdapat 17 provinsi yang memiliki ruang fiskal rendah dan sangat rendah. Sedangkan untuk kabupaten/kota, dari 93 kota terdapat 47 kota yang memiliki ruang fisikal rendah dan sangat rendah, untuk kabupaten dari 415 kabupaten terdapat 207 kabupaten yang ruang fisikal rendah dan sangat rendah, artinya masih banyak daerah yang secara ruang fiskal akan kesulitan menerapkan kebijakan ini. Jikapun diterapkan maka akan menurunkan inovasi daerah dan sektor belanja publik.
Berdasarkan kajian FITRA, kinerja anggaran di tingkat kementerian/lembaga pada akhir 2017 dinilai buruk, rata-rata hanya mencapai 40%. Sedangkan, berdasarkan data PEFA (Public Expenditure and Financial Accountability, 2017), realisasi belanja pemerintah pada 2016 dinilai buruk yaitu hanya mencapai nilai C. Pemberian tunjangan kinerja harus ditinjau ulang karena kinerja anggaran pemerintah yang mengecewakan.
*Rekomendasi:*
1. Pemerintah Jokowi harus memperhatikan prinsip efektivitas, efesiensi, dan keadilan sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003, kebijakan yang dilahirkan pemerintah harus berlandaskan prinsip yang pro rakyat, jangan malah sebaliknya.
2. Perlunya analisis yang komprehensif dan memperhatikan diskresi fiskal APBN dan APBD. Sebab, berdasarkan riset FITRA di 70 daerah (2016) bahwa ketidakleluasaan fiskal APBD mempengaruhi alokasi anggaran untuk program-program sektor publik yang tersandera dan lebih dialokasikan pada Belanja Pegawai. Peningkatan terhadap belanja pegawai tentu akan mengurangi porsi belanja publik dan mengurangi inovasi daerah, sehingga pemerintahan Jokowi tentu harus melihat secara menyeluruh daerah-daerah yang ruang fiskalnya rendah.(*)
RILIS FITRA, 25 Mei 2018
FITRA
FITRA Sumsel