Media massa adalah pilar ke empat demokrasi, media mempunyai peranan penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas bahkan legitimasi bagi pemerintah. Media massa pada dasarnya mempunyai pungsi sebagai sumber informasi, media pendidikan, hiburan serta fungsi kontrol sosial (UU No. 30 tahun 1999).
Untuk menjalankan fungsi yang sangat penting ini media massa dituntut untuk bersikap netral, menjunjung tinggi etika jurnalisme, tidak terjebak dan digiring oleh kepentingan kelompok tertentu. Pengalaman panjang rezim otoriter orde baru menunjukkan bahwa media telah bergeser dari fungsi naturalnya sebagai kontrol terhadap penguasa, namun telah berubah menjadi corong penguasa dan dikendalikan melalui beragam regulasi.
Pasca-orde baru penguasaan dan kendali terhadap media massa bergeser dari penguasa kepada elit pengusaha yang diharapkan akan lebih independen dan netral dalam menjalankan fungsinya. Namun harapan ini seiring berjalannya waktu justru semakin mengkhawatirkan berkaitan dengan penguasaan media oleh segelintir elit pengusaha yang belakangan ini terlibat dan berafiliasi secara politik dengan penguasa dan kelompok politik tertentu.
Bisnis media telah berubah drastis menjadi semacam newsletters perusahan atau partai politik yang bisa dipastikan bias dan tidak netral dalam pemberitaannya. Kebebasan pers kembali dikebiri, namun kali ini bukan oleh penguasa tetapi oleh media itu sendiri melalui penguasaan oleh segelintir elit.
Kondisi ini membawa dampak buruk yang sangat mengkhawatirkan berkaitan dengan kualitas pemberitaan yang jauh dari prinsip dan etika jurnalisme, pemberitaan akan cenderung tendensius memojokkan kelompok tertentu dan di sisi lain membela secara berlebihan kelompok yang lain.
Masyarakat akan digiring melalui opini yang dibuat dan dirancang sedemikian melalui media framing. Pembentukan opini tertentu dalam media tidak dapat dihindari dan merupakan bagian dari komunikasi dalam pembuatan suatu berita, khususnya dalam event tertentu seperti pemilu (Scheufele, 1999). Media framing terhadap politik pada akhirnya akan menurunkan derajat netralitas dan kualitas pemberitaan oleh media massa, pemilik media yang berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu akan cenderung mengangkat isu yang sejalan dengan kepentingannya, bahkan dengan melanggar kode etik jurnalistik sekalipun.
Pembentukan opini melalui media framing memiliki konsekuensi negatif bagi demokrasi (Entman, 2008), karena media memiliki kecenderungan untuk memuat atau menyiarkan berita yang tidak netral. Media hanya fokus pada isu-isu yang tidak substantif melalui pencitraan yang bertujuan memainkan perasaan publik untuk mendukung kandidat tertentu secara emosional ketimbang mengangkat isu yang lebih substantif melalui informasi politik yang berbobot dan mendidik publik untuk lebih rasional.
Konsentrasi kepemilikan media massa yang mengalami polarisasi dan cenderung dikuasai oleh kelompok tertentu merupakan ancaman serius, sebab pada dasarnya publik punya hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan berimbang dari pemberitaan media massa, bukan penggiringan opini yang mengarah pada pembohongan publik. Di sisi lain polarisasi ini berpotensi menurunkan pluralisme media, dan penyalahgunaan kekuasaan politik oleh pemilik media yang berdampak langsung terhadap penurunan kualitas dari media tersebut (Haryanto, 2011).
Pemilik media berada dalam posisi pengendali isi media dan memberikan pengaruhnya yang berpotensi membatasi ruang gerak kebebasan jurnalistik. Pada akhirnya situasi ini juga berdampak bukan hanya pada isi media, namun juga pada cara pemberitaan yang cenderung mengikuti kehendak bos dan sponsornya.
Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi melalui beberapa cara: Pertama, Evaluasi berkala dan pemberian sangsi tegas. Lembaga khusus yang telah dibentuk seharusnya menjalankan fungsinya dengan semestinya dalam mengawasi setiap media dan memberikan sangsi secara tegas terhadap setiap pelanggaran yang mungkin saja terjadi. Kedua, pembatasan penguasaan terhadap media.
Monopoli kepemilikan media oleh kelompok tertentu harus dibatasi melalui regulasi yang tegas untuk menghindari keseragaman informasi, kendali pemilik terhadap pemberitaan media sehingga kualitas pemberitaan media bisa dikontrol berlapis melalui persaingan yang sehat. Ketiga, Penguatan fungsi dan peranan TVRI/RRI sebagai lembaga penyiaran Publik. Pemerintah harus memberikan perhatian serius kepada lembaga ini dan berupaya meningkatkan kapasitasnya seperti lembaga penyiaran publik yang dimiliki oleh negara-negara maju.(*)
Penulis : Yulion Zalfa, S.phil., MA
Pengamat politik/Direktur eksekutif Mahija Institute : Research and consulting