Aksiologi Etika Yunani yang (Sedang) Kita Butuhkan

Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd.
(Penulis Buku Kesejarahan Asal Palembang)

     Jika menyebut nama “Yunani”, kebanyakan dari kita akan segera berpikir tentang “kuno”, “Filsafat ”, atau teringat tentang kisah epos orang-orang Sparta Yunani di bawah Raja Leonidas – yang tergambarkan dalam film hollywood ‘300’ (2007) – maupun mitologi mengenai Zeus dan Hercules serta kuda bersayapnya, Pegasus. Pernahkah kita mengkritisi kosmis berpikir yang terlalu lumrah menghubungkan “Yunani” dengan hal-hal di atas ? Mengapa otak kita tidak berpikir mengenai Raja Konstantin II yang dilengserkan dari takhta oleh perdana menteri militernya, Georgios Papadopoulos, sehingga kerajaan Yunani dibubarkan pada 1 Juni 1973. Bukankah peristiwa yang menandai lahirnya “Republik Ketiga Yunani” itu terjadi lebih belakangan dibandingkan masa Yunani Kuno dengan para filosof maupun Leonidas-nya ?

        Peradaban dunia kuno tidak akan sedemikian menarik jika tak ada Yunani. Herbert George Wells, yang jamak disebut H.G. Wells ; ia seorang novelis, jurnalis, sosiolog, sekaligus sejarawan Inggris, yang mengagumi peradaban Yunani Kuno dengan memberi perbandingan dalam aspek sosio-kultur bangsa-bangsa lainnya. Kehidupan intelektual Yunani Kuno bagi Wells ialah sesuatu “yang baru” di zamannya, yakni ketika banyak orang-orang yang bukan “imam” (agamawan) mengusahakan dan mencatatakan pengetahuan serta menyelidiki misteri kehidupan maupun “keberadaan” (eksistensi). Padahal di masa tersebut (abad ke-6 sampai ke-4 SM), kegiatan intelektual masih menjadi “hak istimewa” kaum imam serta “kesenangan pongah” para raja ; pada abad ke-6 SM, mungkin ketika Yesaya masih bernubuat di Babylonia, di Yunani kita sudah menemukan orang seperti Thales dan Anaximander dari Miletus (keduanya adalah naturalis), Herakleitos dari Efesus, mereka kini pantas disebut gentlemen independent, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pikiran mereka mengenai dunia tempat kita hidup ; menanyakan apa alam itu sesungguhnya ?, dari mana asalnya ? dan apa kemungkinan takdirnya ?, dan menolak semua jawaban yang sudah ada atau yang bersifat mengelak.

    Setelah munculnya para filosof yang membahas mengenai alam, bidang ini kemudian tiba pada fase kemunculan tokoh-tokoh penting Yunani yang membentuk aliran ‘Filosofi Klasik’. Bung Hatta, Bapak Bangsa kita dengan banyaknya karya tulis yang beliau hasilkan, juga pernah menulis buku Alam Pikiran Yunani, penulisannya dimulai ketika ia dibuang ke Boven Digul oleh pemerintah kolonial Belanda. Secara khusus, pengantar Bung Hatta untuk cetakan pertamanya (1941) mengungkap bahwa karyanya itu muncul saat beliau memberi pelajaran ekonomi kepada orang-orang buangan (“Digulis”) yang telah punya idealisme dan pengalaman berjuang, yang akan lebih baik jika disertakan pelajaran Filsafat . Nukilan yang terkenal dari pengantarnya itu adalah, “…Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya dari pada gangguan hidup sehari-hari…”

        Di atas telah kita dapati pengantar Bung Hatta soal keuntungan mempelajari Filsafat, hal itu juga diulas dalam substansi kajian dalam buku Alam Pikiran Yunani-nya. Wakil presiden pertama RI membuka bab ‘Filosofi Klasik’ dengan penjelasan bahwa aliran ini terbentuk setelah munculnya aliran Sofisme yang berpendirian subyektif, relatif, dan skeptis. Tiga tokoh utama era tersebut adalah Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tetapi Aristoteles (384-322 SM) mempunyai sebuah warisan penting dalam salah satu tema Filsafat yakni Aksiologi atau tentang bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Sub-tema Aksiologi utama tentulah mengenai ‘etika’, yang secara awam / sederhana diartikan sebagai “kesopanan”. Padahal, dalam istilah Filsafat, etika berarti kajian tentang bagaimana manusia bersikap dan bertingkah laku serta memaknai moralitas dalam hidup.

    Aristoteles menggagaskan sebuah etika yang disebut sebagai Eudaimonia atau “kebahagiaan sebagai barang yang tertinggi”. Oleh karena itu, dalam mencapai kebahagiaan, budi perangai yang baik harus duduk sama di tengah antara dua sikap yang paling jauh pertentangannya. Misalnya, ‘berani’ antara pengecut dan nekat; ‘suka memberi’ antara kikir dan pemboros; ‘rendah hati’ antara berjiwa budak (rendah diri) dan sombong; ‘hati terbuka’ antara pendiam dan pengobrol. Tetapi dalam mengambil jalan tengah itu, manusia tidak selamanya tepat dalam pertimbangannya. Karenanya, manusia perlu menguasai diri, hidup menguasai diri dan tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu. Pencapaian kebahagiaan ini masih perlu dibarengi dengan tiga hal : 1) Memiliki harta secukupnya demi terpeliharanya hidup karena kemiskinan cenderung memaksa berbuat lalai, 2) Persahabatan sebagai “alat terbaik” yang dapat melahirkan keadilan karena kesamaan jiwa, dan 3) Keadilan itu sendiri yang mencakup pembagian barang yang seimbang maupun dalam hal mengganti kerugian.

   Aksiologi etika yang tak kalah besar manfaatnya ialah dari Epictetus (tahun 60-100 M), filosof Yunani yang lahir sebagai budak, tetapi memperoleh kebebasan. Uniknya, ia tidak setuju dengan pembagian formal Filsafat ke dalam logika, fisika, etika, dll. Ia cenderung lebih mereduksikan Filsafat ke etika. Epictetus mengajarkan agar jangan mencemaskan hal-hal di luar kendali kita dengan cara menjauhkan diri sepenuhnya dari nafsu. Sebab jika kita mendambakan sesuatu yang tidak berada dalam kendali kita, kesialan akan terus menghantui. Oleh karenanya, siapapun yang ingin bebas, sebaiknya ia tidak menginginkan apapun, atau menghindari apapun, yang berada di bawah kendali orang lain; kecuali jika ingin menjadi “budak” (ambisi-Pen). Tentang apa pun, menurut Epictetus, jangan pernah mengatakan, “Aku sudah kehilangan dia,” tetapi katakanlah, “Aku telah mengembalikannya.” Bukan benda-benda itu sendiri yang mengganggu, melainkan penilaian seseorang terhadap benda-benda tersebut.

     Telah muncul banyak para “Ahli Filsafat” di masa kekinian, yang ahli mengulas pemikiran untuk mempengaruhi orang-orang. Terlebih di tengah keruhnya situasi politik, permainan bersilat lidah, menerka-nerka, melontarkan tuduhan, tentu akan lebih ‘asyik’ dengan bumbu Filsafat . Penulis tidak bermaksud untuk merasa “lebih” adil atau mahir, tetapi apakah benar jika kita memakai manfaat Filsafat sebatas demi kepentingan ? Belum lagi penggunaan media sosial yang marak oleh masyarakat, segala produk pemikiran, meski tanpa atau kurang telaah mendalam, dengan mudahnya akan menyebar. Tak perlu kiranya mengungkap siapa dan apa, ataupun mengarahkan dakwaan kepada mereka yang kini lumrah disebut “Cebong” maupun “Kampret”, kesadaran mestilah kembali kepada diri kita masing-masing.

 Kesimpulannya, Aksiologi etika dari perebendaharaan pikiran Yunani itu dapat kita kontekstualisasikan ke dalam cara berpikir di masa ini. Kita harus berani menanyakan pada pikiran kita, “Apakah ilmu yang kita miliki telah optimal digunakan dalam sikap, tingkah laku, dan moral ?”, di tengah dampak kontestasi politik ini. Jawaban yang lumrah pastilah “ya”, tapi sudahkah kita benar-benar berada di tengah di antara dua kutub ekstrim yang bertentangan ? Jika belum, pastikanlah untuk terjauh dari ‘kemiskinan’ referensi keilmuan agar kita dapat bersahabat dengan keragaman berpikir. Selain itu, jangan lupakan sikap adil untuk memosisikan antara yang benar maupun salah, tak peduli siapapun yang melakukannya. Tatkala penilaian kita salah dan mencederai rasa keadilan orang lain, jangan sungkan memohon maaf sebagai serendah-rendahnya “ganti rugi”. Terakhir, sadari kapasitas diri sendiri meskipun menyampaikan pendapat ialah bagian dari hak asasi individu, sampaikanlah dengan santun serta bukan untuk merebut sesuatu yang menjadi hak orang lain.(*)

Sumber :
– Abidin, Zainal, Pengantar Filsafat Barat , Jakarta : Rajawali Press, 2011.

–  Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani , Jakarta : UI Press, 2006.

– Middleton, John, World Monarchies and Dynasties, New York : Routledge, 2015.

– Osborne, Richard, Filsafat untuk Pemula , Yogyakarta : Kanisius, 2001.

– Soupios, M.A., & Panos Mardoukoutas, 10 Aturan Emas : Kearifan Kuno Tentang Cara Hidup yang Baik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009.

– Wells, H.G., Terj., Short History of The World (Sejarah Dunia Singkat), Yogyakarta : Indoliterasi, 2013.

*) Tulisan ini adalah tanggung jawab penulis sepenuhnya (bukan media), jika ada kritik maupun saran silahkan mengirimkan surat elektronik ke ggsejarah@gmail.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *