Merekonstruksi Awal Perang Salib dari Kisah Dua “Pertapa

Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd.
(Penulis Buku Kesejarahan Asal Palembang)

Seturut dengan kesuksesan film hollywood ‘Kingdom of Heaven’ besutan sutradara Sir Ridley Scott (2005), nama Shalahuddin Al-Ayubi (Saladin) dan Balian d’Ibelin pun kian populer. Padahal rangkaian perang besar itu dimulai jauh sebelum kembalinya Jerusalem ke pangkuan Muslim pada 1187 M.

Banyak penulis yang menuduh bahwa Orang Turki Seljuk sebagai penyebab perang, di pihak lain malah menyalahkan Paus Urbanus II sebagai provokator. Tidak seperti kebanyakan kajian yang menekankan pada kemenangan Saladin atau malah menyalahkan pihak Seljuk sebagai simbol “barbarisme”, yang akhirnya hanya mempertajam perdebatan Islam-Kekristenan, tulisan ini akan menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku “Pertapa” justru menjadi pemicu Perang Salib.

“Khalifah Pertapa” Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah

Ia diberi nama Abu Ali Al-Mansur pada kelahirannya di tahun 985 M, sebagai putra dari Khalifah Fathimiyah kelima Abu Mansur Nizar Al-Aziz Billah, sebuah dinasti beraliran Syiah Ismailiyah, di Mesir. Ia dinobatkan sebagai khalifah keenam pada tahun 996 dengan gelar Al-Hakim bi-Amrillah (Pemimpin dengan Perintah Allah). Ia dikenal sebagai pemimpin eksentrik nan membingungkan.

Suatu ketika ia pernah memerintahkan pemusnahan anjing karena terganggu dengan gonggongannya dan juga memerintahkan pelarangan beberapa jenis sayur-mayur serta kerang. Al-Hakim yang mengandalkan unsur suku Berber dalam jajaran militernya cenderung menekan pemeluk Sunni, Kristiani, dan Yahudi. Walau di sisi lain, birokrasinya cenderung plural, ia juga membagikan banyak makanan di era kelaparan, menstabilkan harga, membangun masjid-masjid, dan menjadi patron bagi ilmuwan dan pujangga.

Tanpa alasan yang jelas – serupa dengan pribadinya yang tak bisa dimengerti sepenuhnya – Al-Hakim bi-Amrillah mengeluarkan perintah pada tanggal 8 Oktober 1009 (sampai sekarang tak dapat ditelusuri penyebabnya) ; agar semua bangunan gereja serta sinagoga Yahudi di Jerusalem dihancurkan !. Al-Hakim dikenal sebagai pemimpin yang despotis (mengalami kekacauan pikiran yang berakibat kesewenang-wenangan), sembilan tahun sesudahnya (1018 M) ia mengklaim sebagai “manifestasi (perwujudan) tuhan”, seperti dipercaya agama Druze (kepercayaan baru yang memisahkan diri dari Syiah Ismailiyah) di Lebanon dan Israel.

Bagi Trias Kuncahyono, wartawan senior Kompas, perintah itu adalah titik paling rendah dari masa pemerintahan Arab di Jerusalem yang awalnya dikenal masa yang menjunjung tinggi toleransi agama.

Setelah klaimnya sebagai perwujudan tuhan, Al-Hakim tampil hingga sisa hidupnya nanti seperti seorang “Pertapa” yang benci dunia (asketis). Pada malam 12 Februari 1021 M, di usianya yang ke-36, ia dikabarkan “menghilang” dalam perjalanan malam menuju bukit Mokattam di Kairo. Hanya keledai tunggangan serta pakaiannya yang berlumuran darah berhasil ditemukan.

Hampir serupa bom bunuh diri yang menyisakan kerugian walau pelakunya telah tewas. “menghilangnya” Al-Hakim ternyata berdampak panjang. Para pelaku bom telah menimbulkan ketakutan publik, menyebabkan trauma pada korban, serta menodai citra Islam. Perintah yang dikeluarkan Al-Hakim pun nyatanya berakibat luas dan (sangat) merusak.

Pembakaran Gereja Makam Suci (Holy Sepulchre) merupakan salah satu peristiwa yang melukai masyarakat Kristiani secara luas, tidak hanya di Timur Tengah. Bukannya berdampak langsung pada Dinasti Syiah Fathimiyah, dunia Muslim secara keseluruhan yang harus menanggung konsekuensinya. Seperti inilah pola kausalitas yang telah diajarkan sejarah, terutama mengenai “kekerasan” ataupun perang dengan dalih agama.

Peter “Sang Pertapa”, Si Penghasut

Kaisar Kristen Ortodoks Byzantium, Alexius Comnenus, mengirim utusan menuju Konsili (Musyawarah Raya) di Piacenza bulan Maret 1095, untuk meminta bantuan kepada orang Katholik Barat dalam memerangi Seljuk, kerajaan Islam yang telah menguasai Jerusalem semenjak 1070. Permohonan Kaisar Alexius itu dibawa ke Konsili Clermont (26 November 1095), yang mana Paus Urbanus II menyerukan dalam pidatonya supaya orang Katholik Eropa merebut kembali Jerusalem karena sang kaisar Byzantium mengabarkan bahwa “gereja-gereja dihancurkan atau dijadikan masjid”, “orang-orang Kristen dibelah perutnya dan dikeluarkan ususnya”, “mereka dijadikan sasaran anak panah”, dan perlakuan keji lainnya oleh Muslim.

Banyak yang meragukan kesahihan dari substansi pidato tersebut. Catatan sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah Seljuk hanya melarang sebuah kebiasaan yang sering dilakukan peziarah dari Eropa yakni membawa persenjataan lengkap. Pada 1064 ada tragedi yang terjadi saat seorang uskup membawa 7000 rombongan pasukan, terdiri dari bangsawan dan ksatria yang malah menyerang kaum Muslimin. Maka sejak Seljuk berkuasa pada 1070, kegiatan umat Kristen (peziarah dari luar) dilarang karena faktor keselamatan.

Versi lain mengabarkan bahwa ada seorang pemuka agama Kristen bernama Peter “Sang Pertapa” (Pierre l’Ermite), kemungkinan ia lahir di Amiens (Prancis) sekitar 1050 M, pernah mengadu kepada Paus bahwa dalam ziarahnya ke Jerusalem tahun 1093 M, ia dicegah “tentara Muslim Seljuk” sebelum tiba ke Jerusalem. Banyak jemaatnya yang dibunuh dan disiksa.Sesudah Konsili Clermont yang dikumandangkan Paus, Peter bersama rekannya yang bernama Walter Sansavoir.

Keduanya melancarkan apa yang disebut “Pasukan Salib Rakyat”, kata “Salib” merujuk pada bendera dan lambang yang mereka pakai. Propaganda mereka lancarkan dengan berjalan dari Berry (Prancis tengah) melewati Champagne dan menuruni lembah Meuse ke ke Cologne dan Thence (Mei 1096).Orang-orang yang direkrut kebanyakan ialah petani-petani miskin, tidak berpendidikan, dan juga tidak bisa diandalkan dari segi kemiliteran ataupun kedisiplinan.

Ia melakukan propaganda populer lebih luas lagi ke seluruh Prancis dan Jerman. Tampil dengan pakaian yang kasar, dia naik keledai tanpa alas kaki, membawa sebuah salib besar dan berpidato panjang lebar kepada kerumunan di jalanan atau di pasar atau pula di gereja. Penampilannya yang menunjukkan kesalehan dan mengesankan dirinya sebagai seorang “pertapa” membuatnya memperoleh banyak simpati. Tak jarang ia muncul dengan pakaian compang-camping sembari mengatakan tentang kezaliman dan kelaliman Muslimin. Tak ada yang mengetahui pasti apakah Konsili Clermont disebabkan sang Paus menerima kabar dari si Peter ini ?, atau lebih lanjut lagi benarkah sang Paus merestui tindakan Peter “menyulut” api perang di tengah orang Eropa ? H.G. Wells memberi telaah unik mengenai hal ini. Baginya, permohonan dari Alexius Comnenus merupakan kesempatan bagi Paus untuk menyelesaikan dua masalah :

1) kebiasaan / adat perang pribadi raja-raja Eropa yang kerap kali mengacaukan kehidupan sosial, dan 2) energi bertarung yang sangat berlimpah-ruah orang-orang Jerman, Viking yang Terkristenkan, serta khususnya orang Frank dan Norman. Semangat “Perang Suci” sang Paus dapat mengalihkan dua masalah ini.

Kita sudah membaca bahwa nantinya dalam Perang Salib I, “Pasukan Salib” dalam arti sebenarnya yang dipimpin oleh tiga bangsawan Eropa yakni Godfrey d’Bouillon, Bohemond dari Taranto sebagai wakil dari Italia, dan Raymond dari Toulouse, jumlahnya mencapai sekitar 150.000 orang, berhasil merebut Jerusalem setelah mengepung selama sebulan.

Tanggal 15 Juli 1099 Pasukan Salib berhasil menghancurkan garis pertahanan terakhir kaum Muslimin dan menyerbu kota itu. Kisah pembantaian yang populer terhadap penduduk Muslim dan Yahudi dituliskan dalam catatan Raymond d’Agulliers, seorang imam (agamawan) yang ikut dalam pasukan Raymond dari Toulouse.

“Tumpukan kepala, tangan, dan kaki tampak di jalan-jalan kota (Jerusalem). Orang harus berjalan hati-hati di atas tubuh-tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa dan bangkai kuda…Di Kuil dan Beranda Solomon, orang harus berjalan melintasi genangan darah setinggi lutut…”

Kisah tersebut tak boleh malah menumbuhkan dendam atau bahkan menimbulkan perdebatan lain mengenai “agama apa yang paling cinta kasih ?.” Perdebatan sejenis akan menghalangi kita dalam memperoleh manfaat dari sejarah. Pertanyaan yang lebih sesuai adalah “apa motivasi yang menyebabkan Pasukan Salib melakukan kekejaman sedemikian ?.” Jawabannya ternyata bukan masalah agama, akan tetapi ialah peristiwa yang “dicontohkan” Peter sang Pertapa. Sebelum Pasukan Salib reguler di bawah tiga bangsawan Eropa dibentuk (1097), Peter Sang Pertapa bersama 100.000 “Pasukan Salib Rakyat” yang lebih menyerupai gerombolan tak berdisiplin, berangkat menuju Jerusalem pada April 1096 berangkat ke arah timur Prancis. Ketika baru saja melewati Sungai Danube, di Hungaria mereka mengira orang Magyar yang baru memeluk agama Kristen sebagai “penyembah berhala”, mereka kemudian melakukan banyak kekejaman dan pembantaian, konsekuensinya seperempat dari mereka malah terbantai oleh pasukan Raja Coloman dari Hungaria.

Sisa pasukan Peter mampu mencapai Konstantinopel, ibukota Byzantium. Alexius yang tak tahan dengan keonaran yang diciptakan rombongan itu segera menyeberangkan Peter beserta pasukannya melewati Bosporus, 6 Agustus 1096. Sesampainya di Cibotus di wilayah Turki mereka banyak melakukan keonaran dengan menyerang masyarakat yang sebagian besar tidak bersenjata, disertai pula bermacam kejahatan seperti merampok dan memperkosa. Peter yang jago khotbah, menjadi kewalahan atas tindakan ceroboh gerombolan yang ia koordinir. Ketika ia kembali ke Konstantinopel dengan perasaan putus asa untuk meminta bantuan Alexius Comnenus, Seljuk membalasnya dengan pembantaian besar-besaran terhadap pasukan Peter. Banyak di antara mereka yang akhirnya dijadikan sebagai budak.

Sebelumnya, seruan Peter Sang Pertapa dapat mempengaruhi terbentuknya Pasukan Salib Rakyat di Jerman. Pertama di bawah Biarawan bernama Gottschalk bersama Biarawan Folkmar asal Saxon berusaha membentuk Pasukan Salib Rakyat dengan menggerakkan orang-orang Rhineland dan Lorraine. Selama perjalanan mereka membantai pemeluk Yahudi, setibanya di Hungaria pasukan itu ditumpas Raja Coloman. Pangeran Emicho (Emich dari Flonheim) melakukan usaha di Jerman dengan mengumpulkan 10.000 rakyat. Jika semasa Perang Dunia II Hitler diyakini melakukan Holocaust (genosida) pada Yahudi, Emicho mencontohkan itu sembilan abad sebelumnya. Emicho bertanggung jawab dalam melancarkan “Pembantaian Yahudi Rhineland”, yang pertama kali muncul di Speyer dan menyebar di Worms, Mainz, dan Cologne. Kekejaman itu lebih disbebabkan alasan merampas kekayaan orang Yahudi secara besar-besaran. Sesudah pembantaian, Emicho memimpin pasukannya menuju tempat di mana barisan itu harus (lagi-lagi) dihabisi oleh raja Hungaria.

Penutup : Pandangan yang Bijaksana

Sejarawan Geoffrey Hindley menuliskan kembali kisah pengepungan Jerusalem oleh Saladin pada 1187 yang berbeda dengan film ‘Kingdom of Heaven.’ Panglima Balian d’Ibelin yang menjadi suami seorang putri Byzantium bernama Maria Komnene, pernah meminta agar Saladin melindungi keluarganya mengungsi ke luar kota. Meski Saladin agak kesal karena Balian melanggar janji agar tidak tinggal lama di dalam kota, bahkan rakyat Kristen menahbiskannya sebagai panglima mempertahankan Jerusalem, sultan Muslim itu turut mengirim 50 prajurit terbaiknya untuk mengawal Nyonya Ibelin dan anak-anaknya ke utara, Tirus.Adakah panglima perang lainnya yang bersedia menyiapkan pasukan terbaik demi melindungi istri musuhnya saat sibuk melancarkan pengepungan ? Mengapa Saladin tidak malah menawan Maria Komnene untuk melemahkan perlawanan Balian ? Itulah gambaran sifat bijaksana Saladin yang dapat memisahkan antara ketegangan keagamaan dengan konflik militer serta misi kemanusiaan.

Kita dapat simpulkan bahwa pertikaian dengan membawa-bawa identitas agama sejatinya lebih disebabkan oleh tindakan segelintir oknum seperti Khalifah Al-Hakim. Sangat tidak tepat jika mengaitkan perbuatan pemimpin Syiah Ismailiyah itu dengan Umat Islam secara umum. Terlebih lagi Al-Hakim justru akhirnya mengeluarkan statement sebagai penjelmaan tuhan. Selain telah melanggar aqidah Islam, nampaknya motivasi Al-Hakim dalam membakar gereja suci (yang menyulut Perang Salib) lebih disebabkan karena obsesinya “menjadi tuhan.” Al-Hakim kemudian menjalani hidup sebagai “pertapa”, sama seperti Peter selaku propagandis Perang Salib. Anehnya, gelar pertapa tak membuatnya melakukan hal saleh, namun ia memprovokasi kebencian agama rakyat sipil. Pasukan yang digalang Peter malah jadi pembantai Umat Yahudi, mengacau Hungaria sesama negeri Kristen, dan bertindak biadab pada rakyat sipil Muslim di Turki. Orang Jerman di bawah Gottschalk dan Emicho yang terpengaruh Peter justru lebih nahas, meski sempat membantai orang Yahudi, mereka hancur di tangan Raja Coloman penguasa Kristen Hungaria.

Secara keseluruhan, kisah sejarah ini menunjukkan bahwasannya fitnah (berita tidak benar) dapat berdampak buruk bari orang di sekitar kita dan bahkan pihak lainnya. Layaknya kita sekarang bisa menemukan segelintir oknum yang mengatasnamakan agama sebagai dalihnya melakukan penghancuran pada rumah ibadah dan melakukan kekerasan pada pemeluk agama lain. Klaim serta penampilan sebagai “pertapa” yang dikesankan sebagai pencapaian spiritual, belum tentu menjamin kebersihan hati seseorang. Tapi bukan pula artinya memberi pembenaran pada respon-respon yang kurang etis seperti yang jamak dilakukan para pengguna medsos ; mereka tak beda dengan Al-Hakim dan Peter sebagai penyulut konflik. Hal paling penting tentunya adalah kesadaran membentengi jiwa dan kewarasan kita dari kabar-kabar hoax, seperti yang sudah kita saksikan propaganda Peter dapat menghasilkan kerusakan luas. Semoga sedikit gambaran peradaban silam nan pahit ini bisa dijadikan bekal menjaga persatuan dalam menghadapi perhelatan besar beberapa bulan lagi.(*)

*) Artikel ini adalah tanggung jawab penulis sepenuhnya jika ada kritik maupun saran silahkan kirim email ke ggsejarah@gmail.com .

Sumber :
-Fakih, Muhammad Ali, Tokoh-tokoh Perang Salib Paling Fenomenal : dari Kubu Islam dan Kristen, Yogyakarta : Penerbit Najah, 2011.
-Grania, Abu Fatah, Panglima Surga, Jakarta : Cicero Publishing, 2008.
-Hindley, Geoffrey, Saladin Pahlawan Islam, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012.
-Kuncahyono, Trias, Jerusalem : Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Jakarta : Penerbit Kompas, 2010.
-Wells, H.G., Short History of The World : Sejarah Dunia Singkat, Terj., Yogyakarta : Penerbit Indoliterasi, 2013.
-www.britannica.com
-Yarshater, Ehsan (Ed.), Encyclopaedia Iranica Vol. 11, New York : Institute of Ismaili Studies, 2003.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *