(Oleh: TM. Luthfi Yazid*)
Meskipun berbagai media asing mengangkat dan memberitakan tertembaknya 6 orang pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS), Presiden Jokowi, belum terdengar nyaring suaranya. Bahkan para menterinya pun, seperti Mahfud MD, sepertinya masih tenang-tenang saja.
Prasangka baiknya ialah mungkin mereka sedang melakukan penelitian dan pengkajian secara seksama. Berbagai media internasional mengangkat insiden penembakan itu seperti the Guardian, New York Times, Reuters, South China Morning Post, Times, ABC News, Washington Post, Al Jazeera, dan Channel News Asia.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada kematian George Floyd, seorang kulit hitam di Minneapolis—yang setelah diberitakan oleh media-media internasional– berujung pada krisis dan unjuk rasa di ratusan kota di AS. Kalau George Floyd menghembuskan nafas terakhir saat lehernya ditindih oleh Chauvin dan ia tidak bernafas, sedangkan 6 orang pengawal HRS itu tewas seketika dengan timah panas. Dalam kasus George, akhirnya Chauvin dipecat dari kepolisian dan dikenakan sanksi pidana beserta anggota polisi lainnya yakni Thomas Lane, Tou Thao, dan J Alexander Kuweng. Oleh berbagai media tindakan polisi dalam kasus George Flolyd dianggap sebagai crime against humanity, sebuah kejahatan kemanusiaan.
Insiden penembakan 6 orang anggota Front Pembela Islam (FPI) melukai hati dan persaaan terdalam kemanusiaan kita. Bermacam pertanyaan dapat diajukan, seperti apa salah para pemuda itu yang merupakan lascar FPI? Jika para pemuda itu dianggap salah, buktikan! Atau jika FPI salah buktikan juga, lakukan due process of law dan adili melalui lembaga peradilan. Demikian juga halnya jika polisi—sebagai aparat yang seharusnya melindungi rakyat– melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas,adili, tegakkan hukum dan keadilan.
Di saat kita memperingati hari Hak Hak Asasi Mausia (HAM) sedunia, 10 Desember, saat ini, kita sebagai bangsa harusnya merayakan kemenangan kemanusiaan, melakukan refleksi, evaluasi dan pembenahan. Akan tetapi, ini justeru sebaliknya yang terjadi yakni ada pembunuhan oleh aparat penegak hukum.
Pembunuhan dalam bahasa KUHP didefinisikan, “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dihukum …” (Pasal 338 KUHP). Kejadian ini telah mencoreng nama Indonesia di pentas dunia.
Padahal kita telah bersepakat, sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi (Pasal 28A UUD 1945) yaitu bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hak hidup ini dikategorikan sebagai non-derogable rights, yang dalam konteks HAM hal tersebut tidak dapat dikurangi sedikitpun apalagi ditiadakan. Karena hal ini merupakan tanggungjawab konstitusional negara.
Salah satu organ negara adalah eksekutif.
Menurut konstitusi, Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10 UUD 1945). Karena pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif adalah Presiden dan kepolisian adalah di bawah Presiden,maka adalah wajar jika kita meminta presiden untuk mengajari kita tentang keadilan, sebab keadilan inilah esensi dari mandat konstitusi.
Di dalam konstitusi tidak ada “kepastian hukum”, melainkan yang ada adalah “kepastian hukum yang adil” (Pasal 28D ayat 1). Dalam Pasal 28I ayat 4 disebutkan secara tegas bahwa “negara bertanggungjawab” untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM. Dalam hal ini kita sudah sepakat bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum” (Pasal 1 ayat 3), rechstaat, konstitutionalisme.
Dalam konvensi international diakui bahwa apabila ada pembunuhan terhadap warga sipil oleh aparat, maka patut diduga ada ketidakwajaran, terlebih lagi tidak ada full accountability. Kepolisian memberikan pernyataan tentang peristiwa hukum itu, sedangkan Front Pembela Islam (FPI) juga memberikan keterangannya versi FPI. Satu dengan yang lainnya saling bertentangan.
Publik bingung mana kebenaran yang sesungguhnya? Pernyataan sepihak atau siaran pers satu arah, tentu tidaklah mencerminkan rasa keadilan dan bukan nalar hukum yang benar. Nalar hukum yang benar adalah pondasi untuk mencari kebenaran dan keadilan (the truth and justice).
Oleh sebab itu, sebelum situasi lebih memburuk, kita meminta kepada Presiden Jokowi untuk mengajari kami tentang keadilan, sebagaimana filosof Yunani Aristoles mengajari muridnya secara paripatetik sambil berdiri, berjalan dan berkata kepada muridnya: “the ultimate virtue of law is justice” bahwa kearifan tertinggi dari hukum adalah keadilan.
Sudah saatnya Presiden Jokowi bicara terkait masalah ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana kasus George Flyod. Presiden harus mendorong: Pertama, memastikan tegakkannya hukum dan keadilan tanpa pandang bulu.
Kedua, membentuk lembaga atau Tim Pencari Fakta yang independen dengan melibatkan Amnesty International jika perlu dengan mengumpulkan fakta-fakta, bukti-bukti yang diverifikasi yang dapat diakses publik.
Ketiga, menjamin semua pihak yang terlibat dalam pencarian kebenaran maupun mengkonstruksi kasus tersebut harus dibentuk secara transparan;
Keempat, mendorong tumbuhnya public trust agar kita terhindar dari krisis berkelanjutan, dari chaos bahkan mungkin “revolusi”. Wallahu’alam bishawab.(*)
TM. Luthfi Yazid, alumnus School of Law, University of Warwick, Inggris, peneliti dan pengajar di University of Gakushuin, Tokyo (2010-2011), Associate LEAD International, New York, pendiri Japan Indonesian Lawyers Association (JILA), Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI).