Jakarta, Radarsriwijaya.com – Upaya manusia mengenali diri dan memahami keberadaan Tuhan melahirkan perbagai pengalaman tentang Tuhan, manusia dan alam. Pengalaman tersebut kemudian menjadi suatu konsep unik. Bukan hanya ajaran yang terlahir dari pemikiran filosofis, tapi perpaduan dari hasil olah pikir dan olah batin.
Konsep _‘Manunggaling Kawula Gusti’_ yang terlahir dari tradisi Islam di Jawa, misalnya, kata Soeharto, merupakan pengalaman kerohanian yang tinggi.
“Hal ini didapat dari usaha mengenal diri dan menjalin hubungan dengan Tuhan dan alam,” ujar *H.M. Soeharto,* dalam suatu kesempatan bincang-bincang spiritual bersama warga bangsa.
Banyak masyarakat yang kurang mengetahui bahwa sosok Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto ini, bukan hanya seorang Militer dan Presiden. Namun beliau juga sosok pribadi yang religius, serta mendalami ajaran spiritual asli leluhur. Ilmu tasawuf; makrifat dan wahdatul wujud.
Bahkan Presiden Kedua Repulik Indonesia ini senang dan kerap berdiskusi soal agama dan budaya secara sederhana, bersifat informal bersama warga, maupun kolega Istana Negara.
Di Jawa, kata H. M. Soeharto, terdapat ajaran yang harus dipahami secara mendalam, yaitu _’Sangkan Paraning Dumadi.’_
“Puncak kemenangan hidup ideal manusia Jawa adalah tumbuhnya kesadaran tentang siapa sejatinya diri ini. _‘Sangkan Paraning Dumadi’_ (dari mana, mau k emana, kemudian menjadi), dan pengalaman kemanunggalan,” kata H. Muhammad Soeharto suatu ketika dalam sebuah diskusi.
Ajaran _‘Sangkan Paraning Dumadi’_ menurutnya, bertujuan menuntun manusia mengenal Tuhan. “Tentu dengan mencari, mengenali, menghayati, dan menyadari asal usul kehidupan. Yaitu daripada perjalanan hidup, dan tujuan hidup manusia, sampai dapat berjumpa dengan Tuhan yang menciptakannya,” ujar tokoh yang masa kecilnya tinggal di desa dan harus bekerja di sawah.
Pada bagian lain, H.M. Soeharto, juga pernah mengingatkan, bahwa kehidupan dewasa ini telah berkembang menjadi sedemikian materialistis. “Manusia modern menjadi lupa jati diri yang sebenarnya. Secara tidak sadar diperbudak modernitas yang memenjarakan jiwanya,” ungkapnya.
Inilah antara lain adicita yang pernah disampaikan H. M. Soeharto, kembali terngiang pada saat acara “Peringatan Haul 100 Tahun Haji Muhammad Soeharto.” Kegiatan ini diselenggarakan secara _off-line_ dan _virtual_ dengan aplikasi _zoom,_ dari Masjid Agung At-Tin Jakarta, Selasa (08/06/2021).
Acara ini diadakan Keluarga Besar H. M. Soeharto bersama masyarakat Jakarta. Dimulai setelah sholat Ashar berjamaah dan diakhiri dengan sholat Maghrib berjamaah. Diikuti sekitar 750 orang jamaah Masjid At-Tin, serta pengurus dan jamaah 170 Masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila di seluruh Indonesia. Turut hadir Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menhan Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Din Syamsudin, Ir. H. Akbar Tanjung dan Prof. Dr. Sri Edi Swasono.
“Kita tadi sudah melaksanakan pembacaan surat Yasin dan Tahlil dalam rangka memperingati haulnya ayahanda Haji Muhammad Soeharto yang wafat di usia 87 tahun masehi, pada hari Ahad tanggal 27 Januari 2008,” tutur *Siti Hardijanti Rukmana,* dalam sambutannya mewakili putra-putri HM. Soeharto.
Putri pertama Presiden Ke-2 Republik Indonesia, H.M. Soeharto, yang lebih dikenal sebagai mbak Tutut ini berharap, momentum haul dapat memberi spirit bagi anak bangsa untuk meneruskan perjuangan HM. Soeharto.
“Mudah-mudahan kita yang melanjutkan perjuangan HM. Soeharto senantiasa diberikan kekuatan, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga betul-betul dapat melanjutkan apa yang menjadi cita-cita Bapak Pembangunan,” harap Tutut yang didampingi adik-adiknya, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi dan Hutomo Mandala Putra.
HM. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk Yogyakarta. Dia dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah. Jasa HM. Soeharto dalam membangun citra Islam di Indonesia cukup signifikan.
Beliau diantaranya menggagas dibangunnya 999 masjid di seluruh Indonesia. Pembangunan masjid dilakukan melalui Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
“Beliau adalah orang tua bijak yang sangat kami kagumi dan sayangi. Beliau adalah guru dan teladan yang amat kami hormati. Beliau selalu melangkah dengan semangat kerja tak kenal lelah tanpa pamrih, jujur, tekun, tegas, dan bijaksana,” ujar Tutut.
Pada setiap langkah HM. Soeharto, ujar Tutut, selalu dilandasi kedisiplinan yang tinggi sesuai jiwa kemiliteran yang mengalir sejak usia muda. “Dibarengi tuntunan agama yang lekat dalam jiwanya sejak kecil. Bapak pantang menyerah dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil meskipun banyak kendala yang dihadapi,” ungkapnya.
Menurut Tutut, ayahnya sering mengingatkan tentang filosofi Tri Dharma Mangkunegaran. Sebuah doktrin Pangeran Sambernyowo, leluhur keluarganya dalam menumbuhkan rasa cinta rakyat kepada bangsa. Doktrin itu dikenal dengan _’Tri Dharma,’_ yaitu: _”Melu Handarbeni, Melu Hangrungkebi, Mulat Sariro Hangrosowani.”_
Bahwa kita sebagai rakyat harus tumbuh rasa ikut memiliki _(Melu Handarbeni)_ terhadap bangsa kita yang besar ini. Untuk itu, kata Tutut, kita harus mengenal secara mendalam terhadap jatidiri bangsa kita. Kita harus memiliki wawasan kebangsaan yang mendalam.
“Jika sudah tumbuh rasa memiliki, maka akan tumbuh tanggung jawab membela dan menjaga bangsa ini serta memajukannya _(melu hangrungkebi)_ untuk kesejahteraan bersama. Dengan kata lain memiliki tanggung jawab kebangsaan,” ujar Tutut lebih lanjut.
Semasa hidupnya, kata Tutut, ayahnya kerap berpesan, agar pandai-pandailah bersyukur. Tutut dan semua keluarganya dididik dalam spirit keagamaan dan tidak semata dibesarkan untuk bisa menikmati gemerlapnya kehidupan. “Kami ditempa dan diajarkan bagaimana mencintai perjuangan terhadap bangsa untuk mewujudkan cita-cita adil makmur berdasarkan Pancasila,” ungkapnya.
Kini Bapak Pembangunan Indonesia ini sudah meninggalkan kita. Namun 999 masjid yang didirikannya masih berdiri kokoh. Salah satunya adalah Masjid Agung At-Tin berdiri megah, yang mengabadikan nama Raden Ayu Siti Hartinah, istrinya.
Disamping itu, spirit keagamaan HM. Soeharto, menurut mbak Tutut, patut menjadi panutan. Salah satu pesannya adalah kewajiban moral manusia mencapai harmoni (keselarasan).
“Seseorang bisa mencapai _‘kawruh bejo’_ harus melalui beberapa tahap diantaranya yang terpenting ialah _‘mulat saliro,’_ artinya mawas diri, tahu jati diri pribadi,” ungkap Tutut mengutip pesan ayahnya.
Acara “Peringatan Haul 100 Tahun HM. Soeharto” juga ditandai dengan penyerahan buku profil “Masjid Pak Harto” dari keluarga kepada sejumlah tokoh, diantaranya Ketua MPR Bambang Soesatyo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Din Syamsudin, Ir. Akbar Tanjung dan Prof. Dr. Sri Edi Swasono serta pemberian santunan untuk 3.500 anak yatim piatu, yang diberikan secara simbolik kepada 25 perwakilan anak yatim piatu.
Tutut mengajak semua pihak untuk memanjatkan doa bagi almarhum dan almarhumah kedua orangtuanya. “Terima kasih yang tulus kepada semua pihak atas doa-doa yang telah dipanjatkan untuk pak Harto dan Ibu Tien Soeharto. Diiringi doa dari kami juga semoga Allah SWT membalas berlipat ganda atas ketulusan Bapak-Bapak, Ibu-Ibu dan sahabat-sahabat sekalian, amiin,” pinta Tutut.(*)