Photo : Kegiatan Sosialisasi IKP Di Sumsel.
Radarsriwijaya.com. (Palembang).- Kebebasan pers di Sumsel mengalami penurunan yang cukup siginifikan dibandingkan tahun 2022. Hal ini terbukti dari data Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2023 yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
Berdasarkan data IKP Dewan Pers, kebebasan pers di Sumsel tahun 2023 yaitu 70,83 poin. Angka ini menurun hingga 10,58 poin dibandingkan tahun 2022. Meski masih berada di kategori cukup bebas. Namun, kebebasan pers di Sumsel berada di peringkat 31 dari 34 provinsi di Indonesia.
Menurut data Dewan Pers, penurunan IKP ini terjadi di tiga kondisi lingkungan yaitu, lingkungan fisik politik, lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum.
Untuk Sumsel sendiri, lingkungan fisik dan Politik berada di peringkat 32 dari 34 provinsi. Kemudian, lingkungan ekonomi di peringkat 28 dari 34 provinsi. Sedangkan, lingkungan hukum diperingkat 27 dari 34 provinsi.
Menurunnya kebebasan pers ini diiringi dengan meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya seperti data yang dipublikasikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Pada tahun 2021 tercatat sebanyak 41 laporan, pada 2022, laporan kekerasan meningkat menjadi 61 laporan, dan pada tahun 2023 jumlah laporan kekerasan yaitu sebanyak 78 laporan.
Beberapa bentuk kekerasan jurnalis yang dilaporkan berupa ancaman, kekerasan fisik, kekerasan seksual atau berbasis gender, pelarangan liputan, pelecehan, penghapusan hasil liputan. Kemudian penuntutan hukum, perusakan atau perampasan alat, serangan digital dan teror disertai intimidasi.
Ironisnya, beberapa diantara kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan ini justru dilakukan oleh aparat pemerintah dan aparat penegak hukum (APH).
“Lalu, bagaimana kita berbicara mengenai kebebasan atau kemerdekaan pers, ketika pemerintah atau pihak berwenang masih belum paham mengenai hal ini,” kata Ketua AJI Palembang, Fajar Wiko, Rabu (6/12).
Pemerintah atau APH yang masih belum memahami apa sebenarnya arti kemerdekaan pers ini merupakan salah satu faktor utama yang bisa menghambat kebebasan pers. Apalagi belakangan, terindikasi upaya menyandera kebebasan pers lewat kerjasama antara media dan pemerintah.
Sehingga untuk menjawabnya, harus ada komitmen bersama dari semua pihak. Pemerintah dan APH harus juga melakukan introspeksi mengenai apa yang telah mereka lakukan dalam kaitannya untuk menunjang kebebasan pers ini.
Di sisi lain, kapasitas dan kualitas pers di Sumsel, menurut Wiko juga perlu diperkuat melalui berbagai pelatihan, dan peningkatan kemampuan untuk menciptakan jurnalisme berkualitas.
“Jurnalisme berkualitas akan menghasilkan iklim pers yang berkualitas. Ini tidak ternilai harganya. Namun butuh konsistensi dan komitmen semua pihak yang saling mendukung untuk melakukannya,” kata Wiko.
Di tempat yang sama, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumsel, Jon Heri menilai IKP ini selalu mengalami penurunan. Mirisnya, dari temuan di lapangan ada kantor instansi dan perusahaan yang bahkan menyantumkan ‘wartawan dilarang masuk’. “Itu tentunya termasuk membungkam kebebasan pers,” tegasnya.
Seharusnya instansi maupun perusahaan lebih profesional, mengingat wartawan atau jurnalis itu bekerja dinaungi UU Pers, bukan abal-abal. Karena itu, dia pun mengutarakan perlu untuk terus memperjuangkan kebebasan pers khususnya di Sumsel.
“Kemerdekaan pers harus diperjuangkan terus, tidak boleh berhenti,” tegasnya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumsel, Firdaus Komar mengatakan, turun atau naiknya IKP sangat dinamis, dan kondisional dari tahun ke tahun. Sebab, secara kualitatif penilaian IKP-nya masuk kategori cukup bebas.
Hanya saja, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Baik faktor internal kemerdekaan pers itu sendiri seperti personal jurnalis dan media, maupun ancaman dari eksternal. Seperti adanya ancaman terhadap jurnalis maupun pelarangan liputan. “Apapun hasil survey IKP itu, harus ada evaluasi terhadap pers di Sumsel,” kata Firdaus.
Terkait ancaman eksternal, Firdaus mengatakan, tidak ada kejadian yang dilaporkan secara formal hingga ke jalur hukum. Hanya saja, secara informal, banyak kejadian yang sempat mendapat perhatian. Seperti pelarangan liputan kepada jurnalis di salah satu perusahaan BUMN beberapa waktu lalu.
“Ada misinformasi sehingga menimbulkan suatu ketidakpuasan. Apapun bentuknya, kedepannya jangan sampai ada ancaman baik verbal maupun non verbal terhadap jurnalis di lapangan,” bebernya.
Terpisah, Ketua AMSI Sumsel, Sidratul Muntaha menilai penurunan IKP ini merupakan hal yang lumrah. Mengingat, penilaian IKP ini dari pejabat dan banyak pihak, mulai dari sektor hukum, ekonomi, fisik dan politik.
Meski demikian, media juga harus terus berbenah, dalam artian meningkatkan kualitas produk. Karena, masyarakat kini lebih percaya informasi dari media sosial daripada media dalam naungan perusahaan pers.
“Jadi perlu juga introspeksi apakah ke jurnalisnya atau lebih ke produknya agar menghasilkan kualitas pers yang baik,” katanya.
Saat ini, dia menilai tidak ada pembungkaman dalam pers. Hanya saja, lebih ke menyandera kebebasan pers. Hal ini kerap dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah menyediakan anggaran, tapi mereka bukan bermitra justru mengintervensi secara halus terhadap berita dan media yang mengkritisi kebijakan.
Akibatnya, media harus melakukan takedown berita atau biasa dilihat ‘404’. Kondisi ini masih terjadi di Sumsel. Padahal, seharusnya pemerintah memberikan hak jawab terhadap kritikan ini
“Khusus sumsel, itu kebanyakan kebebasan pers tersandera kerjasama mereka dengan pemerintah tadi,” ujarnya.
Kasus pelanggaran kebebasan pers ini juga dialami oleh anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Sumsel, saat sedang menjalankan tugasnya sebagai jurnalis foto di salah satu proyek pembangunan di Palembang.
“Tahun ini ada satu kasus, dimana anggota kami sedang foto proyek fly over tapi dia dilarang oknum pejabat dari proyek tersebut,” kata Ketua PFI Sumsel, Muhammad Hatta.
Menurutnya, apa yang dilakukan anggotanya sudah sesuai dengan aturan. Bahkan, pengambilan foto ini pun bukan di dalam kawasan proyek melainkan di luar kawasan dari proyek tersebut. Meski demikian, anggotanya tetap dilakukan untuk foto.
Berkaca dari kasus tersebut, dia menilai masih ada pejabat pemerintahan yang tidak mengerti dan memahami peran dari jurnalis foto. Kedepan, dia berharap pemerintah lebih introspeksi dan memahami tugas jurnalis sehingga kebebasan pers akan lebih baik lagi kedepannya.
“Kami tentunya akan terus memperjuangkan kebebasan pers ini karena kami bekerja berdasarkan UU pers, sehingga tentunya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku, dan attitude yang baik,” tutupnya. [den/rel_smsi-sumsel]