Radar Sriwijaya.com (OKI) – Kerajinan kain tenun yang sering disebut siwet atau sewet songket Palembang, merupakan salah satu warisan budaya yang bernilai tinggi.
Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan, menyisipkan benang perak, emas, atau benang berwarna di atas benang lungsin.
Kata songket berasal dari gabungan kata tusuk dan cukit, yang diakronimkan menjadi sukit. Lalu berubah menjadi sungki, dan akhirnya menjadi songket.
Tenun songket merupakan salah satu kerajinan yang digemari masyarakat Sumatera Selatan. Tidak hanya berpusat di Kota Palembang, kerajinan ini juga tersebar di berbagai daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, termasuk Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Industri kerajinan tenun songket di Kabupaten OKI berpusat dibeberapa desa, seperti Desa Pematang Buluran di Kecamatan SP Padang, serta Desa Pematang Kijang dan Desa Padang Bulan di Kecamatan Jejawi. Kain songket yang dihasilkan memiliki motif dan warna yang beragam, mencerminkan nuansa budaya daerah yang sangat kental.
Suhaimi, salah satu pengrajin songket dari Desa Pematang Buluran, menjelaskan bahwa menenun adalah kebudayaan desa yang terus dijaga secara turun-temurun dari nenek moyang hingga saat ini.
“Songket merupakan salah satu budaya dan kearifan lokal desa kami yang sudah ada sejak zaman dulu hingga saat ini tetap kami jaga kelestariannya,” ujar Suhaimi, Jumat (27/12/2024).
Ia menambahkan, bahwa kerajinan tenun songket tidak hanya bernilai bisnis, tetapi juga menjadi cara melestarikan budaya Sumatera Selatan.
“Songket dan para pengrajin tenun sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Ini adalah warisan budaya yang harus tetap dilestarikan ditengah zaman modern seperti sekarang. Selain itu, songket juga memiliki nilai ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya para pengrajin,” tambah Suhaimi.
Berbagai motif songket dihasilkan oleh para pengrajin menggunakan cara tradisional atau manual. Desa Pematang Buluran, Pematang Kijang, dan Padang Bulan di Kecamatan Jejawi dikenal sebagai pusat produksi. Hampir seluruh penduduk desa tersebut menenun songket dengan alat-alat tradisional yang masih digunakan hingga saat ini.
Menurut Suhaimi, proses pengerjaan kain tenun songket membutuhkan waktu lebih dari 20 hari jika dilakukan oleh pengrajin yang sudah mahir. Namun, untuk pemula, waktu yang diperlukan bisa lebih dari satu bulan.
“Biasanya bahan seperti benang dibeli di Palembang. Untuk pemasaran, kain songket dijual langsung ke toko-toko di Palembang atau di dalam Kabupaten OKI sendiri. Harga kain bervariasi tergantung mutu, kualitas, dan tingkat kesulitan motif,” jelasnya.
Suhaimi menyoroti bahwa generasi muda di Kabupaten OKI semakin enggan menggeluti bidang kerajinan songket.
“Proses produksi yang lama dan sulit membuat generasi muda kurang tertarik mempelajari kerajinan ini. Hal ini berbeda dengan generasi tua yang sudah mendapatkan keahlian ini secara turun-temurun,” ungkap Suhaimi.
Ia berharap Pemerintah Kabupaten OKI dapat terus mengupayakan pelestarian budaya songket melalui kegiatan pelatihan teknis (bimtek) dan program lainnya yang dapat menarik minat generasi muda.
“Songket ini tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga salah satu akar budaya Kabupaten OKI. Kami berharap generasi muda dapat meneruskan pelestarian budaya dan kearifan lokal ini agar tetap terjaga selamanya,” tutup Suhaimi. (bram/rill/BA)